Sang Nyonya (3)



Seperti biasa Vicky menjemput Dito disekolahnya, tak lupa dia melewati pagar hot mommy yang dengan buasnya menggerayangi badannya dan tak segan segan mencubit sedikit lemak yang ada ditubuhnya. Saat saat paling berat dalam hidupnya, kasian Vicky.

"Om, Dito laper..." Vicky menengok anak laki laki disebelahnya.
"Mau masakan om apa kita makan diluar aja?" Tanya Vicky sambil mengelus rambut Dito.
Dito menengok Vicky, "Makan masakan om aja, Dito mau nasi goreng."
Vicky tersenyum dan langsung membelokan mobil ke arah supermarket, "Ide bagus, kita beli beefnya sama perlengkapannya dulu, ya"

"Loh, Ibu gak kerja" Sambut Vicky kaget ketika melihat Lolita ada dirumah. Tak biasanya Lolita ada dirumah diakhir minggu seperti ini.
Lolita memeluk dan mencium anaknya kemudian berjalan menuju ruang tamu, diikuti Vicky. "Kita mau berlibur. Saya udah reservasi tadi. Nanti siang kita berangkat. Kamu gak ada acara kan, Vick?" Tanyanya kepada Vicky.
"Engga sih, Bu. Cuma mau kemana ya?"
"Ke Anyer aja, udah lama saya gak liat pantai."

Walaupun acara yang direncanakan Lolita sangatlah mendadak, tapi bukan ide yang buruk untuk sekali kali membuat acara dadakan. Akhirnya mereka bertiga pun menuju Anyer.
"Yah, jagoan tumbang deh..." Kata Lolita setelah menengok ke kursi belakang. Dito sudah pulas tergeletak.
"Kalo saya tadi gak bisa ikut, ibu mau jalan berduaan aja sama Dito?" Tanya Vicky membuka percakapan.
"Iya lah, saya udah biasa berlibur kemana mana berdua aja kok sama Dito. Dari Dito lahir..." Lolita tampak menerawang. Pandangannya jauh kelangit yang indah siang itu.

Fuck shit, she got a wrong thing. Her sexiness driving me crazy, Rutuk Vicky dalam hati. Dia tidak bisa berkonsentrasi penuh ke jalan.
"Hey hey, nanti rest area kita berenti sebentar ya." Vicky menurut.
Mereka membeli kopi dan kembali meneruskan perjalanan.
"So, pacar kamu gak marah weekend begini kamu malah pergi sama saya?"
Vicky tersenyum masih tanpa menengok kearah Lolita yang duduk disampingnya, "Saya gak punya pacar, bu."
"Sayang banget, padahal kamu ganteng."
"Ibu sendiri?" Vicky mengembalikan pertanyaan. Lolita terdiam beberapa saat. Menyadari bahwa mungkin pertanyaannya salah, lalu Vicky meminta maaf.
"Ah, engga kenapa kenapa. Saya gak pernah kepikiran lagi buat menikah. Prioritas saya yang pertama cuma Dito. Saya gak mau dia punya ayah tiri. Cukup sekali."
Vicky mengernyitkan dahinya, "Sekali gimana, bu? Jadi ibu udah nikah dua kali?" Tanyanya polos.
Lolita tertawa, wajahnya yang biasanya tegang sekarang bisa tertawa lepas.
"Enggak, saya cuma pernah nikah sekali. Dito itu bukan anak kandung saya." Penjelasan Lolita membuat kaget Vicky. "Dito anak dari kakak saya, Lili. Tapi Lili sepertinya belum siap punya anak. Dia menikah waktu usianya masih 22 tahun. Terlalu muda, kan? Vicky mengangguk. "Dito lahir waktu Lili umur 23 tahun, sebulan dari itu Lili cerai. Lalu beberapa bulan kemudian menikah lagi. Tapi pernikahan keduanya lebih buruk dari yang pertama. Suaminya bukan lelaki yang baik, dan Lili dengan bodohnya bunuh diri. Jadi dari itu saya mengadopsi Dito."

Tidak menyangka ternyata hidup Dito seberat itu. Tapi Dito sekarang beruntung punya Lolita yang memprioritaskan dia dihidupnya.

"Lalu, gimana hidup kamu?" tanya Lolita.
Vicky salah tingkah, "Gimana ya, bu, cuma kayak anak muda biasanya sih. Hidup normal, kampus kostan dan berulang, kerja sampingan supaya bisa tetep nongkrong sama temen temen. Gak ada yang spesial."
"Maksud saya, percintaan kamu."
"Percintaan saya? haha... saya sendiri gak tau gimana rasanya cinta sama orang."
Lolita menggeser posisi duduknya, kini dia menghadap Vicky, "Jadi kamu belum pernah pacaran?"
"Bukan, bu. Saya beberapa kali pacaran cuma untuk cinta sama orang saya belum pernah ngerasain."
"Jadi kamu jalanin hubungan berdasar apa selama ini?" Lolita makin tertarik.
Vicky kembali tertawa, "Kalau saya cerita ibu pasti gak percaya."
Lolita kembali menghadap jalanan, "Ah pasti karena sex aja kan?" Tanyanya langsung.
"Bukan lah buuu..." Sanggah Vicky buru buru, "Saya biasa deket sama perempuan agresif, deket beberapa hari saya masih santai karena emang gak ngerasa apa apa, tapi perempuan biasanya bakalan gak tahan lalu mulai lebih agresif bahkan kadang ngomong terus terang kalau dia suka sama saya, kalo udah begitu saya tugasnya cuma tinggal nanya 'mau pacaran?' "
"Jahat ya kamu" Lolita tertawa sambil menepuk pundak Vicky, "Tapi gimana bisa kamu ngejalanin hubungan kalau kamu gak cinta?"
Vicky membayar tol, lalu kembali fokus menyetir dan menjawab pertanyaan Lolita, "Saya terbiasa dididik keras sama ayah. Dan salah satunya saya dididik kalau sudah memulai sesuatu harus saya selesaikan. Mungkin itu membangun rasa tanggung jawab yang kuat di diri saya, jadi saya bisa jalanin semuanya walau gak ada yang spesial. Sampai akhirnya mereka sendiri yang bosan lalu ninggalin saya."

Perjalanan mereka terhambat dengan kemacetan, Dito belum bangun juga. Sepertinya dia benar benar lelah.
"Saya salut sama kamu, prinsip kamu mengalahkan all senses yang kamu punya. Saya iri.
"Hmm?" Vicky hanya bergumam
Lolita melanjutkan kata katanya, "You know, Vick? Saya sama seperti kamu. Saya belum pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta sama orang. Saya terbiasa mandiri dan memikirkan diri saya sendiri dari kecil. " Lolita menyeruput kopinya, "Waktu saya kuliah saya ketemu mantan suami saya, setahun kita kenal dan dia bilang dia sayang saya. Tapi saya gak ngerasain apa apa dan saya jujur ke dia. Tapi dia memang keras kepala, dia gak peduli dan tetap perlakuin saya seperti ratu. Sampai akhirnya dia melamar dan saya terima."
"Kenapa diterima, bu?" Vicky memotong.
Lolita tersenyum, "Seperti yang sudah saya bilang, saya terlalu memikirkan diri sendiri. Saya rasa sudah cukup umur untuk menikah. Kalau saya tolak dia, apa akan ada orang seperti dia lagi dihidup saya?"
Vicky manggut manggut, Jalanan sudah mulai lancar.
"Akhirnya kami menikah, gak pernah ada satupun protes yang keluar dari mulutnya tentang gimana dinginnya sikap saya ke dia. Dia selalu ada setiap makan malam, menunggu saya. Padahal belum tentu saya makan dengannya dimeja itu. Setiap pagi dia selalu membangunkan saya dengan ciuman yang sama dan senyum yang sama, padahal belum tentu saya akan bangun atau membalas ucapan selamat paginya. Semua terus berlangsung sampai saya mengadopsi Dito. Dari hadirnya Dito saya seakan lupa dengan hati yang dingin. Saya luluh sama anak kecil dari surga ini, saya sayang Dito. Sangat. Iya saya tau ini beda dengan sayang dengan sesama orang dewasa. Mungkin itu juga yang membuat dia akhirnya menyerah. Dia tau berapa lamapun dia berusaha hasilnya akan sama."
Previous
Next Post »
0 Komentar