Penolak Takdir



"Halo sayang" Kata perempuan tampan itu sambil mencium kening wanita didepannya tanpa malu malu. Gesture tubuh mereka tampak intim.
Sore itu di sebuah mall, Rora, wanita yang tampak cantik dengan rok stretch tribal pas badan dipadukan dengan blouse hitam polos tanpa tangan, memang telah menunggu kedatangan Jesse.

"You look so beautiful.." Puji Je kepada Rora. Kini mereka sudah duduk dan sibuk memesan makanan disalah satu restoran jepang. Rora hanya tersenyum. Sebenarnya dia mau memuji penampilan Jesse yang memang tampak luar biasa dari biasanya. Jeans biru dongker dengan sniker dipadukan dengan kaos v neck dan blazer berhasil membuat Jesse tampak standing out. Tapi pujian itu hanya tertahan ditenggorokannya dan kini tertelan bersama air putih.

"Happy third Anniversary, baby..." Kata Je mengawali early dinner mereka. Rora tampak tersipu malu. Ini pertama kalinya Rora berhasil membawa hubungannya ke tahun ketiga. Sebelum sebelumnya bertahan satu tahun saja sudah prestasi besar baginya. Tiga tahun ini, Jesse dengan sabar bisa menghadapi sifat sifat buruk Rora. Tapi semuanya tidak sesempurna itu. Mau seberapa lamapun hubungan Jesse dan Rora, mereka tidak bisa membawa hubungan ini kejenjang yang lebih lanjut.

Setidaknya itulah yang ada diotak Rora. Prinsipnya dia tidak akan menikahi seseorang kalau tidak direstui Mamanya. Baginya, mamanya sangat sangatlah berarti. Segala keputusan yang dibuatnya harus melibatkan mamanya. Dan Rora yakin benar kalau hubungan sesama jenisnya ini akan langsung mendapat pertentangan dari mamanya.

Rora bahagia bersama Jesse, Rora tidak menyangkal itu.

***

"Capek ya, sayang?" Jesse mengelus elus rambut Rora yang lemah duduk bersandar. Malam itu seperti biasa Je menjemput Rora sepulangnya dari kantor.
"Pinjem handphone kamu, dong." Pinta Jesse sesampainya mereka di sebuah restoran untuk makan malam. Rora tahu ini waktunya inspeksi mendadak versi Jesse. Rora menyibukkan dirinya dengan hal lain, mengunyah calamari yang alot contohnya sementara Je sedang sibuk meneliti satu demi satu aplikasi chat, sosial media dan telepon ataupun sms di handphone Rora.

Tak jarang Rora mendapati beberapa nomor kliennya dihapus oleh Jesse sehingga Rora kacau saat bekerja. Sering kali Rora mengingatkan Je yang hanya dianggap angin lewat saja, lebih baik bertanya dulu sebelum dia bertindak semaunya sendiri. Percuma. Iya, itu percuma. Jadi Rora mulai menyiasati dengan cara lama yaitu menulis nomor kliennya satu persatu dibuku telepon yang tergeletak dimeja kerjanya.

Rora mengerti kalau mungkin Jesse cemburu. Kadang kecemburuannya membabi buta, pria atau wanita yang dianggapnya janggal akan dia eliminasi. Biarpun teman teman Rora yang mengetahui hubungannya dengan Jesse sangat terganggu dengan sikap overprotective Jesse, namun Rora tidak menanggapi dengan serius. Jujur, Rora memang kadang emosi dan kesal hingga mau mengakhiri hubungannya dengan Jesse tapi berpikir sekali lagi, dia harus menerima semua sikap dan sifat baik maupun buruk dari Jesse. Mungkin itu mengganggu Rora, tapi mungkin juga dengan seperti itu Jesse bisa nyaman.

Rora sering kali membicarakan tentang sikap insecure yang melewati ambang batasnya Jesse, tapi Jesse tidak terima, "Aku sayang banget sama kamu. Aku gak mau kamu direbut orang lain." Kata kata seperti itu sudah bagai senjata bagi Jesse.

"Ini siapa?" Tanya Jesse, tentu saja menanyai sms yang dirasa nomor baru dan dia tidak kenal. Rora membisu, seharusnya dia tahu dari isi smsnya. Itu hanya klien yang menanyakan orderan.
"Ini apaan sih nih orang, nyari gara gara banget sama aku." Gerutu Jesse, Rora mengintip sedikit kelayar handphonenya. Ah, itu teman yang dia kenal di media sosial. Sekedar bertegur sapa basa basi sudah membuat Jesse menggerutu sambil memencet tombol block.

Rora berharap malam itu cepat berlalu.


***

"Oy! Kemana aja lo kuya gak pernah keliatan?" Jesse sedang duduk di sebuah cafe sambil menikmati ice chocolatenya namun Melissa menghampiri mejanya.
"Sibuk kerja gue" Ujar Jesse.
"Alah, sibuk kerja, gue tau lo sibuk pacaran kan? Ketauan tuh dari idung lo yang kembang kempis." Melissa duduk didepan Jesse yang mesem mesem.
"Elah, lo dateng dateng rusuh. Pergi pergi sana. Mimpi apa sih gue ampe ketemu lo siang bolong begini."
Melissa menyeruput ice choco milik Jesse, "Mimpi bidadari. Hahahaha..." Sambitan brosur mendarat dengan mulus dipipi Melissa. "Mana sini pacar lo, gue tatar dulu. hahaha... Pacaran diem diem aja, udah bertahun tahun gapernah dikenalin ke gue. Sahabat macam apa itu?" Protes Melissa.
"Sahabat macam gue yang ketemu lo aja susah." Jesse menimpalinya dengan sewot. Maklum saja, Melissa memang jarang berada di Jakarta karena suami dan anak anaknya stay di Bali.
"Jadi sama yang ini udah klop nih?" Melissa lagi lagi menyeruput ice choco milik Jesse.
Jesse memanggil pelayan dan memesan ice choco lagi, "Iya." Jawabnya singkat.
"Yaudah lah sana kawin buruan. Lama lama amat."
Jesse menyipitkan matanya, "Lo kira gampang? Acaranya? Restunya? kedepannya?"
"Acara sama kedepannya gue tau elo bisa handle, yang ragu cuma satu, restunya. Udah yakin dapet?" Tanya Melissa.
Jesse menggeleng, dia tau benar Mamanya Rora yang sangat pemilih. Untuk anak perempuan satu satunya wajar kalau Mamanya Rora bersikap seperti itu. Untuk laki laki saja, Mamanya sangat menyeleksi.
Melissa ikutan down melihat wajah sahabatnya  yang berubah.
"Sorry ya, Je. Gue gak bosen bosen nanya hal ini selama lo masih mau kenal ama gue, lo yakin mau jadi lesbian seumur hidup lo?" Pertanyaan Melissa sekali lagi menusuk jantungnya. Berkali kali pertanyaan ini diluncurkan oleh Melissa tapi sakitnya masih tetap sama.
"Tapi cinta gak pernah salah kan, Mel?"
Melissa tertawa, "Cinta emang gak salah. Subyeknya aja yang kadang suka gak bisa berpikir. Lo tau sendiri kan kita diciptain berpasang pasangan. Takdirnya cewe tuh sama cowo. Okelah lo bisa salah, tapi gak terus terusan salah. Ngelawan takdir itu hal yang percuma." Melissa menyalakan rokoknya, "Sorry ya, Je. Sekali lagi sorry nih. Gue tau gue juga dulu sama kayak lo, tapi coba liat gue sekarang. Setelah gue pikir panjang, gak ada gunanya, Je, ngelawan takdir. Takdir tuh bukan hujan yang bisa ditolak." Asap tebal mulai membumbung keangkasa, "Gue ngejalanin bukan gampang, ya lo ngeliat sendiri deh kan jatuh bangunnya gue. Nangis nangisnya gue. Kesiksanya maksain diri sendiri kayak gimana. Gue rasa mungkin kayak lepas dari narkoba gitu kali ya, bo? Eh tapi gak tau juga deh gue. Pokoknya semua harus ada usahanya, Je."

Jesse terdiam, membisu. Perhelatan hebat terjadi diotaknya. Rasa cinta dan logika yang berperang membuat kepalanya sakit.
"Alah, udahlah. Cape gue mikirin sekarang."
"Ya, gue sih cuma kasih saran aja mending lo mikirin dari sekarang. Umur lo uda tuir, Bo. Jangan maunya hura hura aja."


***

Rora tampak nyaman berada dipelukan Jesse, sambil bermain bubble bath dia tenggelam dalam dunianya sendiri. Seperti itulah mereka menghabiskan malam minggu. Intim satu sama lain. Jesse mulai menyapu punggung Rora dengan tangannya yang lembut. Mengagumi setiap lekuk tubuh Rora yang membangkitkan hasrat. Tiga tahun bersama Rora, selama itu belum ada rasa bosan memandangi punggungnya yang indah.
Ciuman lembut pun menghujani bibir Rora. Lipstiknya mulai memudar. Sentuhan sentuhan Jesse membangkitkan passion dan mulai menyelimuti Rora dengan pleasure.
"Aku sayang kamu, Rora. Sayang banget. Aku gak tau hidup aku tanpa kamu bakalan gimana." Jesse membisikkannya pada Rora yang sedang menancapkan kukunya dilengannya, masih dengan pleasure yang diberikan.
"Aku sayang kamu." Kenikmatan yang diberi sinkron dengan kata kata manis yang dibisikkan terus menerus oleh Jesse.
"Please stay with me, forever."
Rora berbalik, dan memegang kedua pipi Jesse lalu menciumnya.
"I will. Forever. I love you." Katanya lembut.



Previous
Next Post »
0 Komentar