Ini sudah hari ketiga dan rutinitas perempuan itu tak berubah. Pukul 8 dia sudah duduk manis memesan sarapannya, setelah pesanan datang dia baru membuka buku yang dibawa dan mulai membaca sambil memakan sarapannya. Pukul 9 dia sudah siap merapikan barang bawaannya, dan pergi dengan mobil merah.
Oriel kali ini membawa kameranya, beberapa kali dia menjepret kelain arah dan mencuri saat yang tepat untuk mengambil foto sang perempuan diseberang sana.
Tidak terasa sudah satu jam dia disini, Oriel mulai membereskan perlengkapan kameranya karena dia tau saatnya untuk sang perempuan pergi meninggalkannya. Tapi sesuatu yang tak pernah terjadi, perempuan itu dihampiri oleh seorang laki laki gagah memakai jas. Sepertinya laki laki itu bukan asli orang pribumi, postur tubuhnya yang besar dan tinggi juga dengan rambut keputihan karena usia yang sepertinya memang sudah lanjut. Laki laki itu memeluk dan mencium perempuan idolanya.
Untuk pertama kali Oriel melihat senyum merekah dari wajah perempuan idolanya itu. Bahkan waktu tersenyum pun kesan anggun dan angkuh tetap kuat dirasa.
Oriel menahan niatnya pergi dari situ dan memsan fruit punch untuk menemaninya lebih lama.
Gesture yang sexy, keanggunan yang terpancar tanpa harus berpura pura, senyum yang indah, rambut yang perlahan bergerak mengalun bersama angin semilir. Oriel tak menyangka kalau selama tiga hari ini wajah yang dingin dan angkuh bisa menjadi seekspresif itu. Tangannya yang ramping, jarinya yang terlihat lentik menari indah seiring bibirnya yang bergerak penuh tawa berbicara dengan laki laki didepannya.
Tentu saja Oriel tak menyianyiakan kesempatan itu, dengan keahliannya, dia mencuri angle berharap hasilnya akan bagus dan bisa menjadi koleksi pribadinya.
***
Malam itu di apartementnya , Oriel sibuk mengutak atik komputernya menyelesaikan apa yang sudah dimulainya tadi pagi. Butuh waktu yang cukup lama untuk sekedar memandangi foto perempuan itu. jarinya bergerak perlahan, matanya tajam menatap monitor. Sungguh aneh, aura yang terpancar membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Kembali bergelut dengan otaknya, gadis ini biasa saja. hanya Oriel tak tau kalimat apa yang bisa mendeskripsikan ke-spesial-an gadis itu.
Pagi tiba tanpa mempersilakan Oriel untuk memejamkan matanya. Foto yang tidak banyak tapi berhasil membuat dia terjaga semalaman, Oriel tersenyum atas tingkah konyolnya itu. Dia menggeliat. Badannya baru terasa kaku. Matanya menatap jam dinding yang terdiam disudut ruangan.
"Oh, shit..." Katanya, lalu terburu buru menyiapkan dirinya.
Sudah pukul 8 lewat 20 menit, secepat mungkin dia menyetir mobilnya ke coffee shop biasa tempat dia bisa melihat surga. Mungkin ini hari sialnya, Oriel berdiri menenteng gelas karton dengan penuh kekecewaan menatap kosong keseberang sana. Sang perempuan yang sangat ia harapkan untuk bisa menyapa matanya tak ada ditempat biasanya dia duduk.
Oriel memutuskan untuk langsung pergi saja kekantornya tanpa berharap lebih banyak lagi. Gelas karton yang masih penuh diletakkan diujung meja kerjanya. Dia mengecek jadwal pemotretan yang harus dia kerjakan hari ini. Pikirannya masih penuh, hatinya masih kecewa karena dia tak bisa melihat favorite creature nya hari ini..
***
Hari demi hari tanpa ada terlintas untuk menyerah, semua dilakukan seperti biasa oleh Oriel. Duduk disudut ruangan walau ia tahu pemandangan indahnya sudah tidak ada. Hanya ada kursi kosong yang tak banyak digunakan orang karena sinar matahari yang mungkin menurut orang Indonesia terlalu kuat dan bisa menghitamkan kulit mereka.
Tampak ada yang mengganjal dihatinya, matanya kosong meminta diisi oleh pemandangan indah yang dia rindukan.
Tanpa dia sadar, di dalam hatinya memohon walau hanya satu kali saja dia ingin melihat kembali perempuan itu.
Kesibukan hari Senin membuatnya lupa kalau dia belum memakan apapun dari semalam. Pikirannya penuh dengan wajah anggun perempuan itu. Sudah siang dan dia harus rehat sebentar untuk sekedar mengisi perut. Kali ini dia nekat untuk makan siang direstoran Belanda tempat biasa perempuan itu menghabiskan waktu paginya. Kalau memang harus, dia akan mencari informasi tentangnya dari pelayan disana.
Selesai Oriel memarkir mobilnya, dia berjalan menuju restoran itu. Langkahnya berat berbanding lurus dengan napasnya. Otaknya tak lagi rasional, dia yang kaku mau mengambil tindakan konyol. Sejak melihat dan mengagumi dari jauh perempuan itu disadari kalau Oriel bukanlah Oriel yang dulu. Kini dia tak bisa mengontrol apa yang dia mau yang bersangkutan dengan sang perempuan.
Oriel dengan tegang berdiri menghadap meja reservasi yang bersebelahan dengan kasir. Sejenak dia sibuk dengan handphonenya.
"Dank u wel, Meneer. Tot ziens." Ucap kasir cukup keras mengucapkan terima kasih.
Oriel menengok dan berkelebatlah sosok yang dia kenal. Sosok bidadari dengan harum parfum yang khas. Rambut panjang cokelat mengikuti gerak tubuh sang pemilik. Tubuhnya yang ramping menggunakan celana Samurai Japan loose style dengan sendal tali membungkus kaki putih pucat. Oriel mematung sampai orang itu meninggalkan restoran.
"Ahahahaha...." Tawa renyah dari Santi menggelegar diruangan kantornya. "Are you a gay?" Tanyanya lagi.
Kali ini pertanyaan Santi menusuk hati Oriel.
Oriel diam tak menjawab, otaknya masih sibuk flashback waktu siang tadi di restoran itu. Terngiang ucapan kasir, "Dank u wel, Meneer. Tot ziens"
"Ahahahahahahaha..." Kini tawa Santi lebih panjang dari yang pertama. "Meneer meneer ternyata."
Oriel tak memedulikan Santi yang asik menertawakannya. "Hey, but you said he is a beauty? Really? Gak ngebayangin matanya seorang Oriel tertipu."
"I will." kata Oriel pelan.
Santi menoleh, "Ha?"
"Are you a gay?" Ulang Oriel dengan nada yang sama seperti dilontarkan oleh Santi tadi, "I will." Katanya lagi. "Kalau itu sama dia." Oriel tersenyum dan kembali fokus ke pekerjaannya yang tertunda.
0 Komentar