Oxygen



“Ah, maaf..”
Kunci mobil yang dipegang Mibo jatuh tapi matanya tertuju ke perempuan oriental yang menabraknya. Perempuan putih itu memamerkan senyumnya yang manis lalu mengambil kunci Mibo yang terjatuh.
Dengan tubuh yang membeku hanya bola mata Mibo yang berwarna kehijauan mengikuti gerak perempuan didepannya itu. “Ini kunci mobilnya, maaf ya tadi buru buru.”

Rasa muak menyeruak ke seluruh tubuh Mibo, tapi dengan self control yang baik Mibo malah melempar senyum, “Gak apa apa. Thanks.” Dan berlalu.

Berjalan di panas terik matahari Jakarta, Mibo mengernyitkan dahinya yang telah basah oleh keringat. Rasanya harum tubuhnya sudah berubah menjadi agak asam. Waktunya pulang ketempat yang aman, pikir Mibo.
Bergema lagu Uptown Funk didalam mobilnya yang terjebak kemacetan. Telinganya penuh, rasa muak yang tadi kembali menghantui. Dengan cepat Mibo mematikan audio mobilnya dan kembali menikmati jenuhnya kemacetan yang tercipta.
Motor dari samping kiri dan kanan seakan menghimpitnya, makin sedikit ruang yang tersisa. Sesak tak hanya dirasa dari luar tapi juga dari dalam tenggorokannya. “Trey, dimana?”

“Di Hotias, kenapa Mib? Lo dimana? Kesini lah...” jawab suara dari speaker handphone milik Mibo.
Mibo dengan cepat memutar setir mobilnya, “Yo. Tunggu.” Lalu telepon terputus.

Sahabatnya dari kecil, Treya, memang selalu ada disaat Mibo gelisah. Banyak yang berubah dari diri mereka masing masing, tapi hubungan persahabatannya tak pernah berubah.

Treya menyodorkan lemon juice pada Mibo yang sudah pucat. “Minum dulu.” Tanpa banyak ba bi bu Mibo meminumnya, dengan napas yang masih tersengal dia mencoba kembali tenang seperti biasa. Mukanya yang pucat sudah mendingan, sinar mata yang dingin selalu terpasang.

“Eh iya, kemarin ada salam dari Bonita. Mau nomornya enggak? Barang bagus tuh.” Treya menyundut rokok mildnya.
Mibo tak merubah ekspresinya. “Buat lo aja.”
Treya sumringah, mengembuskan asapnya. “Serius lo? Awas ya lo nyesel.” Mibo hanya mengangguk dan mulai sibuk sendiri dengan handphonenya.
Treya tak meneruskan kata katanya dan memilih asik menikmati rokok yang tadi dia bakar.

Mereka duduk berdua dalam diam di sebuah cafe yang teduh menjadi sorot pandangan yang duduk disekelilingnya. Bagaimana tidak, dua laki laki dengan tubuh tegap dan tampan duduk disatu meja. Treya dengan wajah khas Korean-American berhidung mancung dan mata yang hitam pekat sedangkan Mibo dengan wajah kebulean juga dengan lengan kiri yang stood up berhiaskan bermacam lukisan indah terpadu indah membalut.

“Im out of breath.” Ujar Mibo masih menatap handphonenya.
Treya berdiri, membersihkan apron hitamnya yang tertumpah abu rokok, “Pulang. Sebentar lagi shift gue abis.” Lalu Treya meninggalkan Mibo.

***

Kamar yang dingin menyambut kedatangannya, Mibo berjalan gontai melepas sepatunya perlahan lalu mencari sofa untuk membaringkan tubuhnya yang seakan kehabisan tenaga karena kehabisan oksigen. Matanya terpejam, dia berusaha mengingat sejak kapan badannya makin melemah. Apa dia akan segera menemui malaikat seram berpakaian serba hitam membawa trisula yang siap menikamnya dan membawa ke daratan penuh api? Sejak kapan kamarnya begitu sunyi? Sejak kapan dia merasa kalau kamarnya semakin sempit?

Mibo perlahan terlempar ke dunia mimpi, sedikit banyak dia berdoa tidak pernah kembali lagi.
“Mibo? ...bo.. Mibo...” sayup sayup dia mendengar suara lembut yang dirindukannya. Tapi suara itu tak lama menghilang. Kegelisahan kembali menyelimuti tubuhnya. Kakinya ngilu, begitu juga tangannya, rasanya kram otak.

Disaat dia menikmati kesakitan disekujur tubuhnya tiba tiba terasa sebuah tangan kecil hangat menyentuh pipinya. Matanya dipaksa untuk terbuka, lebih lebar, lebih lebar agar dia bisa melihat siapa bidadari dari surga yang mau menolongnya.

“Mibo?” Suara yang tadi sayup sayup kini jelas mendengung ditelinganya, didepannya tersenyum bidadari kecil yang dia ingat.
Seakan terlempar dari negeri entah berantah semua kesadarannya menyatu, “Clawie?!” Ujarnya menggenggam tangan hangat yang menyentuh pipinya. Bidadari itu tersenyum lebih lebar, bukan hanya matanya yang hangat tapi juga sinar matanya.

“Clawie? Clawie!” Banyak kata yang ingin diucapkan tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama bidadari yang dirindukannya. Entah bagaimana dia bisa mengungkapkan rasa bahagianya ini. Bertemu lagi bidadari yang sudah lama meninggalkannya. Tangannya yang hangat masih menempel dipipinya.

“Mibo...” suara tegas kini keluar.
“Mibo...” suara yang lembut perlahan berubah.
“Mibo!” kenapa Clawie membentak? Tak satu pertanyaanpun yang bisa keluar dari mulut Mibo.

“Mibo! Hey, wake up!”

“CLAWIE!” Sekali lagi mata Mibo terbuka, yang dilihatnya bukanlah bidadari kecil tapi sesosok Treya yang membantu membangunkannya dari tidur.

Mibo menutup matanya dalam dalam, berharap Clawie kembali kehadapannya. Treya menyodorkan air putih, “Clawie...” hanya nama itu lagi yang keluar, kini terbalut dengan rasa sedih.

“Udah lima tahun yang lalu, boy. Clawie udah meninggal lima tahun yang lalu!” Mibo tertunduk lemas menyadari kalau dirinya sudah kembali kekenyataan yang pahit. “Udah saatnya lo move on. Cari cewek yang baru. Yang mirip dia pun engga apa apa. Asal gue bisa liat senyum lo lagi.” Treya duduk dibawah sofa menundukkan kepalanya.

Mibo membenarkan posisi duduknya, “Gue jijik sama perempuan perempuan yang lain. Gue jijik sampe gue muak dan gak bisa napas. Gue jijik sama diri gue sendiri yang gak bisa sedikit aja palingin diri dari Clawie.”

“Terus apa gunanya elo ngerubah diri lo jadi laki laki kalo nyatanya elo Cuma cinta Clawie?!” Suara Treya bergetar, menghempaskan bantal ke lantai mencoba menahan emosi tapi sepertinya tak kuasa.

Mibo tersentak. Lalu tersenyum sinis. “Pathetic, huh?”

“Sepuluh tahun yang lalu elo mutusin ngerubah diri lo jadi laki laki, lo berhasil. Menurut gue, lo laki laki sepenuhnya. Tapi lima tahun kemudian Clawie meninggal! Kelaki-lakian lo gak berguna! Jangankan buat move on, buat berusaha ramah sama perempuan aja lo gak bisa! Lo mati! Lo bukan laki laki! Tapi lo juga bukan perempuan!”

“Gue sahabat lo dari kecil, Mib. Gue gak permasalahin gender dan gue yakin Clawie juga sama kayak gue. Lo ya elo. Tapi lo sendiri yang ngebunuh diri lo perlahan. Ngubur diri lo jauh didalam. Lo gak ngizinin siapapun selangkah aja narik lo.”

“Separuh diri gue ada elo. Separuh diri Clawie ada elo. But you full of yourself.”

Treya meninggalkan ruangan itu, “Handphone gue aktif terus.”

Kata kata Treya yang panas seakan membakar dirinya, membebaskan dari semua dingin yang selama ini membalut. Air mata meleleh dari kedua matanya, deras seakan salju yang mencair semakin cepat dikutub sana. Malam ini bagai pisau yang menelanjangi dirinya, meleburkan satu persatu bagian yang tak perlu melahirkan sebuah pahatan baru.

“Halo? Treya...”

-End-
Previous
Next Post »
0 Komentar