Tunnel Vision



Aku masih mencintai pria yang ada di depanku sekarang ini. Tadi, begitu aku datang, tangan besar hangatnya masih menyalamiku dan senyumnya masih membuat pipi ini sedikit merona. Aku selalu senang membayangkan senyumnya sebelum tidur, sampai sekarang. Senyumnya selalu memesona. Entah, mungkin karena aku mencintainya? Tapi semua orang akan beranggapan sama denganku, memang senyumnya memesona.
Tunggu sebentar biar aku cari alasan kenapa senyumnya memesona.
Wajahnya yang tampan? Iya, tapi itu tidak cukup.
Bibirnya yang sexy? Itu hanya persepsiku saja kurasa.
Oh iya! Bunny teeth! Dia memiliki gigi kelinci yang.. hm... sexy. Kenapa otak ini tidak berhenti berhentinya meneriaki kata sexy kalau membayangkan sesuatu yang berkaitan dengannya?
"Mau minum apa? Biar gue yang pesenin."
Kuseruput Frapucinno Cotton Candy, manis. Seperti senyumnya tadi. Matanya bertemu dengan mataku saat aku menyeruput Cotton Candy untuk kedua kali, hampir tersedak, jangan.. tolong jangan mulutku yang manis, jangan sembur Cotton Candynya.
Breath in... breath out...
Haleluya! Self control sepertinya meningkat dua ribu persen saat berada di keramaian seperti ini. Mulutku masih tahu diri ternyata dengan tidak membuatku malu didepan dia.
“Apa kabar, Jeng?”
Dia tersenyum lagi.
Shit! Jangan bunuh aku dengan senyummu, mas.
Apa tadi? Perhelatan drama queen dalam hati membuatku kaget sendiri. Tertawa dalam otak. Ungkapan dont judge book from its cover benar benar menusuk tubuhku saat ini. Bagaimana tidak, aku yang kalem diluar ternyata sedang membangun perhelatan drama queen dalam hati. Jijik.
“Booo, cariin eike pewong, dong. Papa mama udah pada rese nih.”
He was my boyfriend. Aku ingat enam puluh hari yang lalu kami duduk di spot yang sama mengobrol dengan teman teman seperti saat ini. Tangannya masih menggenggam tanganku erat membuat iri mata perempuan perempuan yang sedang bergosip.
Berisik, tapi waktu itu tenteram di hati. Mungkin karena tangannya? Mungkin saja... Biarpun mata perempuan perempuan ini menguliti tanganku, aku tenang bergelayut di lengannya. Aku senyum penuh kemenangan. Jangan berisik, tunjukkan keanggunanmu dan pria akan bertekuk lutut. Berisik di ranjang saja, ya itu sih resepku.
Enam puluh hari yang lalu tidak sama seperti sekarang, kadang tangan ini kesepian. Hangat yang dulu selalu ada sekarang dingin. Tangan yang besar yang selalu menggenggam sekarang tidak ada, yang ada malah tangan seukuran yang dingin. Oh maaf itu tangan aku sendiri.
Gesture tubuhnya masih sensual, membuatku bergidik. Oh Tuhan, kutuk aku yang hina ini.
"Hei, jangan diem aja, ngobrol dong."
Tujuh puluh tiga hari yang lalu kulit kami masih bersentuhan. Lembar seprai yang tadinya rapi sudah berubah bentuk. Mungkin karena dari pagi kami belum beranjak bangun. Malam itu malam penuh torture. Hurtful but full of pleasure, hanya dia yang bisa membuatku seperti ini. alhasil menggerakan pinggul seinci pun tidak bisa.
Tubuhnya yang kekar khas lelaki mendekapku erat seakan lapar dan siap melumatku hidup hidup. Apa? Mau nambah?
Kepalanya blusukan di belakang leher, hebat aku langsung lemas tak berdaya. Titik sensitif bukan lagi rahasia. Dia tidak hanya gagah dalam penampilan, di ranjang juga. Tapi aku belum mati sampai sekarang diserang dia beratus-ratus kali. Suaraku sudah serak melenguh dan menjerit sepanjang malam tadi. Sepertinya nanti siang, sehabis beberapa ronde lagi, aku harus mengunjungi dokter THT kenalanku.
Kadang sedih mengenang terakhir kami berbuat dosa. Sama saja seperti Adam yang menyesal dilempar dari surga. Aku rindu dengan tangan kekarnya yang biasa melingkari pinggulku sepulang ia kerja. Walau kadang kesal dengan jari nakal yang turun teratur ke balik celanaku.
Kalau seperti itu kadang horny mengenang terakhir kami berbuat dosa. Bisa apa aku? Kini sepulang kerja, biasanya aku menaruh makanan sampah untuk kumakan nanti lalu termenung di beranda apartement berjam-jam sampai kaki ini tak sanggup untuk berdiri lagi. Mungkin dari belakangku terong, ketimun dan minyak goreng tertawa keras.
“HOOY...”
“WAHAHAHA...”
“AH, GILA! KAMPRET!”
“HUAHAHAHAHAHA....”
Empat orang laki laki ditambah lima orang perempuan mampu membuat resah pengunjung coffe shop lainnya karena kami yang berisik dan rusuh. Tolong maklum, kami jarang kumpul seperti ini karena kesibukan masing masing.
"Yuk foto dulu, yuk"
"Ayuk!"
"Nina, jangan disitu. Joice gak keliatan."
"Nanti gantian yah?"
"Pakai timer aja sih, biar semua masuk."
"Eh tolong ya, yang udah mantanan jangan kaku kaku. Kayak kanebo aja, nanti gue kasih air nih!"
Umur boleh tua tapi kalau sudah bertemu, anak baru puber SMA pun kalah berisik dengan kami. Tawa lepas bersama kepenatan beban sehari hari.
Ah, fotonya bagus. Harus cepat kirim sebelum antri dengan yang lain. Perempuan perempuan rempong ini pasti akan rusuh kalau aku tidak cepat cepat. Aku membuka ulang galeri di handphone, mencoba melihat kembali foto tadi yang dikirim. Benar kan, fotonya bagus. Iya dong bagus, senyumku dan senyumnya selaras. Kami masih cocok disandingkan. Aku masih percaya diri dengan penampilanku mengimbangi kegantengannya yang wah. Sejuta perempuan cantik pun akan berpikir untuk menyerah kalau melihatku berdampingan dengannya. Ups, hehe maaf balon harapanku terbang tinggi.
Ku geser layar, hmm... fotoku dengannya.
Enam puluh tujuh hari yang lalu kami berdua berlibur ke pantai, tak satu pun momen yang aku sia-siakan. Disetiap ada kesempatan pasti aku berfoto dengannya. Lesung pipi yang muncul akibat senyumnya yang melebar membuatku tak kuasa menghapus semua foto foto kenangan.
Oh iya, aku lupa memasukkan lesung pipi ke dalam daftar ‘hal yang membuat senyumnya memesona’. Oke, lesung pipi, cek. Done.
"Apa kabar lo? Sombong banget sekarang kalo gue ajak nonton ga pernah bisa. Kantor kita kan cuma beda lantai."
Jarang sekali kami bisa liburan jadi wajar saja aku seperti anak alay yang kemana mana ‘foto dulu’, apa pun backgroundnya ‘foto dulu’, apa pun sikonnya ‘foto dulu’.
“Iya nih, sombong. Have fun lah kita. Karaoke kek.”
“Yuk, yuk! Kapan mau karaoke?”
“Ikut dong... kapan?”
Wait wait, kenapa riuh tiba tiba? Please somebody, kasih kesempatan otak ini membongkar memori yang ada. Mumpung obyeknya ada di depan mata dan masih menebar senyum.
Loh? Senyumnya hilang.. kemana? Aku histeris dalam hati. Kenapa hilang? Mulutku ternganga, sedikit. Jangan, tolong jangan pasang muka sedih itu. Tolong..
Aku sakit, aku ingat lagi di sore hari itu kamu hilangkan senyum dari wajah kamu. Mata kamu sayu menunduk, tangan hangat berubah jadi dingin, kata kata kamu waktu itu bagai pisau merajam setiap bagian tubuhku.
“maaf, it’s over here.” Katamu waktu itu.
Aku mau pulang. Mau pulang sekarang. Tiba tiba gusar dan menangis di tengah keramaian tidak akan mungkin.
"Eh, gue pulang ya, anak gue bentar lagi minta dijemput nih."
"Gue ikut deh"
"Gue juga."
Sosok itu berdiri, aku ikut berdiri. Aku lega. Matanya otomatis menangkap mataku yang dari tadi memang tertuju padanya.
"Elo bubar juga?"
Sepertinya dia agak kurus, terlihat jelas dari lengannya. Ah, sama saja. Aku juga kehilangan beberapa kilo semenjak berpisah darinya. Matanya kembali menajam menatapku. Aku lemah, diam, tak berdaya. Kini senyumnya mengembang, bukan senyum memesona seperti tadi tapi senyum yang aku tahu terpaksa dan dia menganggukkan kepalanya pertanda pamit.
Seorang perempuan menghampirinya, tak jelas bagaimana sosoknya. Dia menggandeng tangan perempuan barunya itu lalu perlahan meninggalkan aku, teman teman dan semua kenangan yang dari tadi kurang ajar mengacak otak juga hati ini.
Punggungnya masih saja kutatap. Postur tegapnya, bahunya yang bidang dan gerakan kecil rambutnya begitu jelas dimataku walau langkahnya kian jauh. Dalam hati ini berdoa semoga dia bahagia dengan pilihannya.
Seriuh apapun disekeliingku, mata ini hanya akan fokus padanya. Sejauh apa pun jarak kami, mata ini senantiasa work harder zooming on him. Dulu dan sekarang dan entah sampai kapan.
Aku cukup senang bisa melihat matanya menatap mataku di kesempatan kecil seperti saat ini juga mengenangnya di setiap otakku kambuh. Walau kondisi kami sekarang sama sama sudah mempunyai perempuan yang mencintai kami.
-End-
Previous
Next Post »
0 Komentar