Carousel



Aku genggam kertas putih kecil erat erat sambil berdiri. Sudah berapa lama aku di sini? Pemandangan riuh di kiri dan kanan, semua orang mengembangkan senyumnya. Kenapa hanya aku yang seakan mau menangis?
Asing, kenapa aku berdiri di sini, di taman bermain?
Kakiku? Hey, kalian tidak apa apa kan? Kok gemetar? Kupijit mereka perlahan, lututnya saja. Sabar, ya?
Oh tidak, kertas putihnya. Ah tidak apa apa. Tiket ini masih layak untuk nanti diserahkan ke penjaga yang tinggi besar itu.
▫▫▫
"Hey, kok diem aja?"
"Iya, kenapa?" kataku sambil menyadarkan diri dari lamunan. Pria berwajah oriental didepanku tersenyum, aku jadi salah tingkah. "Shu, ayo kita pulang." ajak ku. Hari sudah malam, aku sudah cukup bersenang-senang. Memang tidak ada yang pernah salah menghabiskan waktu dengan orang yang dicinta.
"Trisa, kamu laper lagi gak?" Shu berbalik menghadapku. Memang dia berjalan di depan tapi tangannya yang besar dan hangat terus menggenggam tanganku seakan memastikan agar aku tidak terhempas dalam kerumunan.
Aku menggeleng kecil, "Di rumah masih ada roti."
Tangan hangatnya yang menggenggamku dirasa sangat kontras dengan udara malam ini.
Shu langsung mengganti pakaian setibanya kami di rumah, panggilan dari sebuah apartement studio yang kami tinggali enam bulan belakangan. Pemandangan favoritku sedang ditayangkan, duduk di pinggir tempat tidur memang angle paling tepat untuk menangkap pemandangan indah ini. Dari sini terlihat jelas Shu yang sedang membuka kaos hitamnya, otot perutnya yang menyembul malu malu membuat pipiku terasa panas. Tangan besarnya menyibak kaos ke atas, perlahan terlihat bahunya yang bidang dengan kulit putih yang indah. Terus ke atas hingga terlepas semua.
"Kenapa?" mungkin dia sadar kalau sedang ditonton perempuan berotak mesum dari pinggir tempat tidur. "Kenapa?" dia mengulang, aku diam. Langkahnya yang besar besar membuat dengan sekejap otot perut yang indah ada di depan pelupuk mata. "Trisa..." suara bas yang sexy mendengung di telingaku juga napasnya yang hangat memburu membuatku luluh dalam nikmat. Malam ini rupanya belum menyilakan untuk istirahat.
▫▫▫
Sepanjang penglihatanku ke belakang, hanyalah manusia berbaris rapi sibuk dengan dirinya masing masing. Contohnya, orang yang tepat di belakangku ini, dia sibuk mengunyah permen karet sambil sesekali membuatnya jadi balon. Matanya berkeliling. Ingin rasanya menyapa, tapi tidak sekalipun bola mataku bertemu dengannya.
Yah sudahlah, niat berbasa basi sepertinya sudah basi. Lagipula aku sedikit mengerti apa maksudnya. Aku pun sering begitu, menolak orang berbasa basi dengan memakai headphone segede gaban dan memasang muka nikmat mendengarkan musik. Cara ini ampuh, loh. Apa aku harus memberi saran pada orang di belakangku ini?
Orang di depanku bergerak maju, aku terpaksa maju juga, antrian ini bergerak. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti untuk apa aku di sini. Banyak permainan yang sepertinya tidak mengantri di taman bermain ini. Kenapa aku dengan susah payah membeli tiket dan mengantri? Tidak biasanya begini, mungkin aku sedang tidak sadar waktu membeli tiket, khilaf sebentar atau sedang mengenang otot Shu yang yummy itu?
***
Hari ini panas sekali, perkuliahan tidak terlalu intens, syukurlah.
“Hei, lihat Shu gak?” tanyaku kepada wanita manis berponi yang sedang menyeruput teh di kantung plastik. Dia menggeleng, aku putus asa. Kemana Shu? Perasaanku tidak enak. Tolong jangan dia lagi. Setengah berlari kutelusuri lorong lorong kampus yang sepi. Langkah ini terasa berat begitu juga napasku. Dalam hati aku terus mengulang doa yang sama, “Tolong jangan dia lagi. Tolong…”
Berdiri dengan kaki lemas. Entah karena bekas berlari atau karena pemandangan di depanku. Ya Tuhan, kenapa doaku sepanjang jalan tadi tak Kau kabulkan? Terlalu banyak kah dosaku? Air mata mulai mengalir membasahi pipi. Sebaiknya pulang saja, tidak ada gunanya di sini.
***
“Shu?” Mulutku bergerak pelan. Benarkan ini Shu? Aku tidak pernah salah mengenal punggungnya dan bahunya yang bidang. Aku tahu postur ini. Tanganku bergerak mencoba meraih bahu yang tegang di depanku. “Shu?” perlahan dia menoleh, iya benar! Dia Shu! Senyumku mengembang.
“Shu kamu ngapain di sini?” syukurlah ada orang yang aku kenal, terlebih lagi dia Shu.
"Sayang?" dia kembali menghadap depan, aku bingung. Ku langkahkan kaki ke depan, tapi tidak bisa! Kenapa ini? Seperti di lem dengan kuat kaki ku ke tanah. Aku coba lagi meraih bahu Shu, tapi kali ini bahu yang dingin itu kaku tak menoleh.


***


Malam di Jakarta tidak pernah sedingin ini. Apa turun salju sore tadi? Dingin menusuk ke pojok sendi sendi. Mungkin satu batang rokok lagi dapat menghangatkan tubuh ini.
"Sial." kini hanya tinggal bungkusnya, rokoknya sudah jadi abu habis kubakar dari tadi. Ya tuhan, aku malas sekali harus beranjak ke mini market.


"Trisa?" langkah berat bergerak mendekat. "Kenapa lampunya gak kamu nyalain?" aku muak dengan suara ini. "Hey, kalo diajak ngobrol tuh jawab." serius, aku muak. "Kamu kenapa sih?"


Ini dia, pertanyaan ini yang aku tunggu tunggu. Pertanyaan bodoh keluar dari mulut kotor yang tadi siang mencium seorang gadis berambut panjang di lorong sepi.
Jangan, jangan keluar sekarang, air mata! Dasar bodoh!
"Engga apa apa. Tadi asyik ngelamun." ngeles gaya apa aku? Gaya kodok?


"Mau kemana?" aku menoleh. Sudahkah mataku menebar sorot kebencian?
"Beli rokok." BRUK. Kubanting pintu. Sepertinya mata ini terlalu lemah, alhasil kutugaskan tangan untuk mengekspresikan rasa muak.


***


Tersentak aku, kembali ke taman ini. Musik gembira berbanding terbalik dengan suasana hati. Sosok di depan yang sangat asing membuat makin nyeri hati ini dibuat. Ditambah memori yang kelam. Kenapa bisa? Hanya itu yang ada dipikiranku.


Kuedarkan kembali pandangan, kini ke sebelah kanan. Mataku mendapat seorang wanita berdiri manis menunggui dagangannya, sepertinya aku kenal. Tapi di mana ya? Wajahnya yang manis tampak serasi dengan dagangannya yang indah berwarna kemerahmudaan dan tampak lembut. Dia memasang senyum dan akan lebih lebar lagi kalau ada pengunjung yang membeli lebih dari satu. Ah, pedagang. Bagaimana kalau aku datang ke sana dan hanya bertanya berapa harganya sehabis itu pergi? Senyum itu tak akan ada untukku.
Otakku masih penasaran akan wanita ini, pernah di mana aku lihat dia? Di gang dolly? Sepertinya bukan, dia terlalu manis untuk mengenakan riasan topeng seperti wanita di sana kebanyakan.


Shu melangkahkan kakinya. Loh, kok dia bisa? Hei tolong, aku kenapa tidak bisa menggerakkan sedikitpun kaki ini. Hei, kaki! Bergeraklah, dasar tidak berguna. Apa sudah bosan? Apa kau pun tidak mau denganku lagi? Bagus, setelah dia kini kamu.
Shu menghampiri gadis itu, mengeluarkan uang dari sakunya. Apa? Dia borong semua sisa dagangannya. Kali ini bukan hanya senyum yang diberikan gratis, tapi juga pelukan. Mesra!


Aku? Jangan tanya, hati ini menangisi kaki yang tidak bisa bergerak dan tangan yang tidak sampai untuk menjambak rambut indahnya juga mulut yang tidak bisa meludah sejauh itu.


***


“Mau kemana?” Shu mengucek matanya, tubuhnya yang indah masih terbalut selimut. Aku memakai tanktop hitamku sambil melenguh karena sakit di pundak. Sepertinya angin sudah kangen dan penetrasi ke tubuhku. Dahsyatnya angin menusuk hingga membuat sekujur tubuh ngilu begini. Aku janji tidak akan tidur di sofa lagi.


“Kuliah.”
Shu bangkit, dia hapal benar jadwalku yang sekarang kosong. “Sayang kenapa? Dari semalam cemberut terus.” bibirnya mampir di keningku. Muak!


Roti gandum ini serasa lebih keras dari biasanya, apa sudah overdate? Kalau dimakan, bisa mati tidak? Aku mau makan dua bungkus.
“Aku seharian di rumah, kamu mau makan apa?” Seperti biasa, masakan Shu mana bisa aku tolak. Tapi kali ini aku harus jaga gengsi kalau tidak percuma lah menahan derita dingin dan tidak nyaman di sofa semalaman.
Aku menyeruput susu agar roti bisa turun dengan bebas ke perut, “Aku pulang malem, mau ada acara sama temen.” Tolakku. Dengan gaya cool. Shu mengangguk.


Berjalan di lorong apartement, menyeret kesal. Apa apaan tadi? Pura pura bodoh?
Bzzz… Bzzzz… Getar handphone di saku jeans, ku baca sms yang masuk.
I love you, Trisa.
Seharusnya ini saat untuk tersenyum. Pesan teks sederhana yang aku dapat dari Shu setiap bertahan dari cabikan yang menggebu sekarang malah membuat hujan di mata. Aku menangis sejadinya bersandar di dinding lorong. Berharap tidak ada yang lewat dan melihat seorang perempuan gila menangis menahan air mata dan entah bisikan juga serangan setan dalam diri.
Fuck… fuck… fuck…” Tubuh ini melemas. Hati ini terus berteriak menyemangati. Napas terengah-engah menahan kesal.


***


Shu telah kembali ke barisan. Aku, sibuk mengatur napas supaya tidak terlalu terlihat menyedihkan dengan ketidakberdayaan yang ada dan keinginan yang percuma. Musik yang diputar makin lama makin membuat merinding. Bukan karena musik yang seram seperti Lengser Wengi, tapi musik yang gembira, saking gembira jadi bulu di sekujur tubuh berjaga bersiap melindungi diri ini yang notabene sedang kesal.


Setiap antrian bergeser maju, kaki ini mudah digerakkan, tapi kenapa kalau saat sedang dibutuhkan malah tidak berguna.


Makin lama makin dekat. Korsel yang tadi kelihatan indah dengan lampu yang menghiasi tiap tiang dan atapnya terlihat lebih menyeramkan dari dekat. Kuda kuda yang terpaku di korsel tepat di bagian punggung tampak menderita, derit mesin yang perlu diolesi pelumas membentuk melodi yang memekakan telinga jangan lupa penjaga tinggi besar berjenggotnya.


Aku bagai kelinci yang menyedihkan dengan mata besar dan telinga terguntai juga gigi depan yang kering. Shu, aku takut.
Penjaga itu menyodorkan tangannya, aku menutup mata. Gemetar kaki ini dibuatnya. Lalu aku sadar, dia hanya meminta karcis mengingat aku sudah di mulut gerbang. Shu? Oh dia sudah duduk di kuda yang berwarna hijau.
Aku ikut, duduk di kuda belakang warna merah muda yang agak pudar. Mungkin harusnya aku duduk di kuda biru sebelah Shu, tapi entah kenapa aku suka dengan kuda merah muda pudar ini. Matanya yang sayu mengingatkan aku pada kebodohanku. Posenya yang berdiri tenang, tidak seperti kuda yang lain yang berpose seakan berlari,  lebih menyiratkan kepribadianku. Menurutku.


Sadar kalau hanya Shu dan aku yang naik korsel ini, aku panik. Tengok ke kanan dan ke kiri. Penjaga sudah menutup gerbangnya. Kucoba untuk turun. Ya! dan LAGI! Aku tidak bisa bergerak, terjebak di kuda merah muda pudar ini. Bagus.


***
Kugesekkan perlahan kaki ku di bantal. Mencari nyaman. Kamar bernuansa kuning gading ini begitu menenangkan. Kucing pun dengan pulas tidur di bawah menemaniku dari tadi. Entah mimpi apa, yang jelas aku iri dengan tidurnya yang nyenyak. Sudah tiga hari aku numpang tidur di kamar ini, kamar seorang sahabat. Hatiku terlalu pengecut untuk kembali ke rumah dan bertemu Shu.


“Jangan ngelamun aja lo, nanti kesambet. Gue diperkosa lagi. Hiii..” Kelly bergidik meledekku. Anak setan ini memang ahlinya meledek. Tidak berubah walau tujuh tahun sudah mengenalnya, dia ahlinya dan tak tergantikan. Tapi betapapun pedasnya omongan dan sadisnya ledekan, dia dengan tangan terbuka menampungku di sini. Di kamarnya yang selalu punya sudut dingin untuk hatiku yang panas.


“Fuuuhhh…” asap dari mulutku membumbung tinggi dan menghilang. “Yaudah lah, lesbian aja kita?” celetukan pun terlontar.
Kelly tertawa, “Kalau nih ya. K A L A U... “ katanya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk lentiknya ke meja kayu, “Kalau emang gue lesbian, gue gak akan, nyong, milih yang kayak elo buat jadi pacar. Hih, emang eike pewong apaan” Lagi, gidikannya membuat tangan ini berjalan melempar bantal ke mukanya.


Sunyi mengambil alih kamar ini, sejenak kami sibuk dengan isi otak masing masing. Memang mulut ini sudah berat mau bergerak. Terima kasih, Tuhan, Kau berikan sahabat yang mengerti aku butuh tenang.


“Shu nyari lo dari kemarin di kampus.”


Mau apa dia cari cari? Apa kamar mandi di rumah sudah kotor? Atau permadani sudah berdebu?
“Trus?”


Sepertinya Kelly serius dengan topik yang akan dia bawa, “Mau sampai kapan?” Tanyanya.
Ini bagai bertanya saat ulangan, aku tidak tahu jawabannya dan di sampingku ada guru yang mengawasi. Panik dua kali.
Bola mata berputar, siapa tahu ada jawaban tersempil di sudut kamar ini.
“Ini resiko. Inget gue nanya berapa kali tentang ini?” Aku mengangguk. “Dan lo bilang, gue siap, Kel. Apa pun resikonya.” Aku mengangguk lagi.
“So?” Kali ini aku gigit bibirku
I will. As soon as possible.” Jawaban itu mengakhiri kuliah dari Kelly siang ini.


***


Getaran yang lumayan kurasa di kaki pertanda korsel mulai berjalan. Deritan kembali terdengar, musik gembira mencekamku.


***


“Shu!” Panggilku, wajah yang tampan itu menoleh dan seketika menjadi cerah, Shu menghampiri. “Can we talk? Just a second.” Kataku.
Dia mengernyitkan dahi, “Yes baby, of course.”


Kami berjalan ke parkiran. Shu membukakan pintu mobilnya untukku. As gentle as usual.


***


“SHUUU!!!!” Suaraku tenggelam dalam musik sialan yang semakin lama semakin kencang. Berulang kali aku panggil namanya, dia tak menoleh. Aku tidak bisa turun dan kuda ini bodoh tidak bisa berlari.


***


“Maafin aku.” itulah kata pertama dariku yang keluar ketika aku dan Shu duduk berhadapan di mobil. Shu seperti biasa dengan ringan menggerakkan tangannya membasuh pipi yang mulai basah ini.


***


Aku guncang guncang kuda merah muda pudar ini berharap dia melompat melepaskan diri dari tuncapan tiang di punggungnya dan menyusul ke sebelah Shu.


***


Shu menatapku dengan mata hangatnya. Setahun bersamanya dan sorot mata itu yang paling membuatku tak berdaya.  Tangannya terus mengelus pipi, membasuh air mata kurang ajar tidak tahu diri yang terjun seenaknya.


***


Round and round like a horse on a carousel, we go,
will I catch up to love? I could never tell, I know,
chasing after you is like a fairytale, but I,
feel like I'm glued on tight to this carousel


And it’s all fun and games,
'til somebody falls in love,
but you've already bought a ticket,
and there’s no turning back now


This horse is too slow,
we’re always this close,
almost, almost, we’re a freakshow


Right, right when I’m near,
it’s like you disappear,


Why did you steal my cotton candy heart?
you threw it in this damn coin slot,
and now I’m stuck, I'm stuck,
riding, riding, riding (Carousel - Melanie Martinez)

***


Perlahan Shu memeluk, tidak ada kata lagi. Tidak ada yang bisa mewakili. Pikiranku melayang di dalam pelukannya, akan kuulangi lagi tahun tahun seperti ini. Aku sudah terpaku tepat di punggung oleh cinta, sama seperti kuda merah muda pudar. Kami berdua akan terus berputar sampai nanti aku mati di korsel ini dan dibuang oleh penjaga besar berjenggot ke luar arena.


Seseorang mengetuk jendela, Shu perlahan menurunkan kacanya.
“Shu, dicariin Manda tuh.”
Setelah orang itu pergi, dengan sorot mata memelas Shu menatap dalam ke mataku. Siapa yang bisa menolak puppy eyes seperti ini?
Akhirnya dengan senyum aku menyilakan dia bertemu dengan pacarnya, Manda.

Aku turun dari mobil dan memandang Shu berlalu. Tiba tiba aku kangen rumah, mungkin sudah lama aku tidak pulang. Ingin cepat cepat merebahkan diri di tempat tidur dan bermain bersama kuda merah muda pudar sambil menunggu Shu pulang.


-End-

Tunnel Vision



Aku masih mencintai pria yang ada di depanku sekarang ini. Tadi, begitu aku datang, tangan besar hangatnya masih menyalamiku dan senyumnya masih membuat pipi ini sedikit merona. Aku selalu senang membayangkan senyumnya sebelum tidur, sampai sekarang. Senyumnya selalu memesona. Entah, mungkin karena aku mencintainya? Tapi semua orang akan beranggapan sama denganku, memang senyumnya memesona.
Tunggu sebentar biar aku cari alasan kenapa senyumnya memesona.
Wajahnya yang tampan? Iya, tapi itu tidak cukup.
Bibirnya yang sexy? Itu hanya persepsiku saja kurasa.
Oh iya! Bunny teeth! Dia memiliki gigi kelinci yang.. hm... sexy. Kenapa otak ini tidak berhenti berhentinya meneriaki kata sexy kalau membayangkan sesuatu yang berkaitan dengannya?
"Mau minum apa? Biar gue yang pesenin."
Kuseruput Frapucinno Cotton Candy, manis. Seperti senyumnya tadi. Matanya bertemu dengan mataku saat aku menyeruput Cotton Candy untuk kedua kali, hampir tersedak, jangan.. tolong jangan mulutku yang manis, jangan sembur Cotton Candynya.
Breath in... breath out...
Haleluya! Self control sepertinya meningkat dua ribu persen saat berada di keramaian seperti ini. Mulutku masih tahu diri ternyata dengan tidak membuatku malu didepan dia.
“Apa kabar, Jeng?”
Dia tersenyum lagi.
Shit! Jangan bunuh aku dengan senyummu, mas.
Apa tadi? Perhelatan drama queen dalam hati membuatku kaget sendiri. Tertawa dalam otak. Ungkapan dont judge book from its cover benar benar menusuk tubuhku saat ini. Bagaimana tidak, aku yang kalem diluar ternyata sedang membangun perhelatan drama queen dalam hati. Jijik.
“Booo, cariin eike pewong, dong. Papa mama udah pada rese nih.”
He was my boyfriend. Aku ingat enam puluh hari yang lalu kami duduk di spot yang sama mengobrol dengan teman teman seperti saat ini. Tangannya masih menggenggam tanganku erat membuat iri mata perempuan perempuan yang sedang bergosip.
Berisik, tapi waktu itu tenteram di hati. Mungkin karena tangannya? Mungkin saja... Biarpun mata perempuan perempuan ini menguliti tanganku, aku tenang bergelayut di lengannya. Aku senyum penuh kemenangan. Jangan berisik, tunjukkan keanggunanmu dan pria akan bertekuk lutut. Berisik di ranjang saja, ya itu sih resepku.
Enam puluh hari yang lalu tidak sama seperti sekarang, kadang tangan ini kesepian. Hangat yang dulu selalu ada sekarang dingin. Tangan yang besar yang selalu menggenggam sekarang tidak ada, yang ada malah tangan seukuran yang dingin. Oh maaf itu tangan aku sendiri.
Gesture tubuhnya masih sensual, membuatku bergidik. Oh Tuhan, kutuk aku yang hina ini.
"Hei, jangan diem aja, ngobrol dong."
Tujuh puluh tiga hari yang lalu kulit kami masih bersentuhan. Lembar seprai yang tadinya rapi sudah berubah bentuk. Mungkin karena dari pagi kami belum beranjak bangun. Malam itu malam penuh torture. Hurtful but full of pleasure, hanya dia yang bisa membuatku seperti ini. alhasil menggerakan pinggul seinci pun tidak bisa.
Tubuhnya yang kekar khas lelaki mendekapku erat seakan lapar dan siap melumatku hidup hidup. Apa? Mau nambah?
Kepalanya blusukan di belakang leher, hebat aku langsung lemas tak berdaya. Titik sensitif bukan lagi rahasia. Dia tidak hanya gagah dalam penampilan, di ranjang juga. Tapi aku belum mati sampai sekarang diserang dia beratus-ratus kali. Suaraku sudah serak melenguh dan menjerit sepanjang malam tadi. Sepertinya nanti siang, sehabis beberapa ronde lagi, aku harus mengunjungi dokter THT kenalanku.
Kadang sedih mengenang terakhir kami berbuat dosa. Sama saja seperti Adam yang menyesal dilempar dari surga. Aku rindu dengan tangan kekarnya yang biasa melingkari pinggulku sepulang ia kerja. Walau kadang kesal dengan jari nakal yang turun teratur ke balik celanaku.
Kalau seperti itu kadang horny mengenang terakhir kami berbuat dosa. Bisa apa aku? Kini sepulang kerja, biasanya aku menaruh makanan sampah untuk kumakan nanti lalu termenung di beranda apartement berjam-jam sampai kaki ini tak sanggup untuk berdiri lagi. Mungkin dari belakangku terong, ketimun dan minyak goreng tertawa keras.
“HOOY...”
“WAHAHAHA...”
“AH, GILA! KAMPRET!”
“HUAHAHAHAHAHA....”
Empat orang laki laki ditambah lima orang perempuan mampu membuat resah pengunjung coffe shop lainnya karena kami yang berisik dan rusuh. Tolong maklum, kami jarang kumpul seperti ini karena kesibukan masing masing.
"Yuk foto dulu, yuk"
"Ayuk!"
"Nina, jangan disitu. Joice gak keliatan."
"Nanti gantian yah?"
"Pakai timer aja sih, biar semua masuk."
"Eh tolong ya, yang udah mantanan jangan kaku kaku. Kayak kanebo aja, nanti gue kasih air nih!"
Umur boleh tua tapi kalau sudah bertemu, anak baru puber SMA pun kalah berisik dengan kami. Tawa lepas bersama kepenatan beban sehari hari.
Ah, fotonya bagus. Harus cepat kirim sebelum antri dengan yang lain. Perempuan perempuan rempong ini pasti akan rusuh kalau aku tidak cepat cepat. Aku membuka ulang galeri di handphone, mencoba melihat kembali foto tadi yang dikirim. Benar kan, fotonya bagus. Iya dong bagus, senyumku dan senyumnya selaras. Kami masih cocok disandingkan. Aku masih percaya diri dengan penampilanku mengimbangi kegantengannya yang wah. Sejuta perempuan cantik pun akan berpikir untuk menyerah kalau melihatku berdampingan dengannya. Ups, hehe maaf balon harapanku terbang tinggi.
Ku geser layar, hmm... fotoku dengannya.
Enam puluh tujuh hari yang lalu kami berdua berlibur ke pantai, tak satu pun momen yang aku sia-siakan. Disetiap ada kesempatan pasti aku berfoto dengannya. Lesung pipi yang muncul akibat senyumnya yang melebar membuatku tak kuasa menghapus semua foto foto kenangan.
Oh iya, aku lupa memasukkan lesung pipi ke dalam daftar ‘hal yang membuat senyumnya memesona’. Oke, lesung pipi, cek. Done.
"Apa kabar lo? Sombong banget sekarang kalo gue ajak nonton ga pernah bisa. Kantor kita kan cuma beda lantai."
Jarang sekali kami bisa liburan jadi wajar saja aku seperti anak alay yang kemana mana ‘foto dulu’, apa pun backgroundnya ‘foto dulu’, apa pun sikonnya ‘foto dulu’.
“Iya nih, sombong. Have fun lah kita. Karaoke kek.”
“Yuk, yuk! Kapan mau karaoke?”
“Ikut dong... kapan?”
Wait wait, kenapa riuh tiba tiba? Please somebody, kasih kesempatan otak ini membongkar memori yang ada. Mumpung obyeknya ada di depan mata dan masih menebar senyum.
Loh? Senyumnya hilang.. kemana? Aku histeris dalam hati. Kenapa hilang? Mulutku ternganga, sedikit. Jangan, tolong jangan pasang muka sedih itu. Tolong..
Aku sakit, aku ingat lagi di sore hari itu kamu hilangkan senyum dari wajah kamu. Mata kamu sayu menunduk, tangan hangat berubah jadi dingin, kata kata kamu waktu itu bagai pisau merajam setiap bagian tubuhku.
“maaf, it’s over here.” Katamu waktu itu.
Aku mau pulang. Mau pulang sekarang. Tiba tiba gusar dan menangis di tengah keramaian tidak akan mungkin.
"Eh, gue pulang ya, anak gue bentar lagi minta dijemput nih."
"Gue ikut deh"
"Gue juga."
Sosok itu berdiri, aku ikut berdiri. Aku lega. Matanya otomatis menangkap mataku yang dari tadi memang tertuju padanya.
"Elo bubar juga?"
Sepertinya dia agak kurus, terlihat jelas dari lengannya. Ah, sama saja. Aku juga kehilangan beberapa kilo semenjak berpisah darinya. Matanya kembali menajam menatapku. Aku lemah, diam, tak berdaya. Kini senyumnya mengembang, bukan senyum memesona seperti tadi tapi senyum yang aku tahu terpaksa dan dia menganggukkan kepalanya pertanda pamit.
Seorang perempuan menghampirinya, tak jelas bagaimana sosoknya. Dia menggandeng tangan perempuan barunya itu lalu perlahan meninggalkan aku, teman teman dan semua kenangan yang dari tadi kurang ajar mengacak otak juga hati ini.
Punggungnya masih saja kutatap. Postur tegapnya, bahunya yang bidang dan gerakan kecil rambutnya begitu jelas dimataku walau langkahnya kian jauh. Dalam hati ini berdoa semoga dia bahagia dengan pilihannya.
Seriuh apapun disekeliingku, mata ini hanya akan fokus padanya. Sejauh apa pun jarak kami, mata ini senantiasa work harder zooming on him. Dulu dan sekarang dan entah sampai kapan.
Aku cukup senang bisa melihat matanya menatap mataku di kesempatan kecil seperti saat ini juga mengenangnya di setiap otakku kambuh. Walau kondisi kami sekarang sama sama sudah mempunyai perempuan yang mencintai kami.
-End-